Respon Mikroba Menghadapi Kondisi Stres

Minggu, 12 Desember 2021

Perubahan lingkungan dapat menciptakan kondisi stres bagi makhluk hidup, termasuk mikroba. Mikroba menghadapi beberapa kondisi stress, baik dalam habitat alaminya ataupun pada aplikasi laboratorium. Kondisi stres dapat diartikan sebagai keadaan dimana terdapat ketidaksesuaian antara kebutuhan dan ketersediaan suatu faktor yang mendukung keoptimalan kinerja mikroba. Mikroba merespon stres atau cekaman dengan mengaktivasi proses adaptasi atau bahkan kematian (Liu, 2012). Respon stres mikroba memungkinkan mikroba bertahan dari kondisi yang merugikan dan berfluktuasi di lingkungan sekitar mereka. Berbagai mekanisme mikroba mengenali perubahan lingkungan yang berbeda dan menghasilkan respon yang tepat sangat dibutuhkan. Sel mikroba dapat bereaksi secara bersamaan terhadap berbagai macam stres dan berbagai sistem respon terhadap stress. Mikroba mungkin mengalami gangguan skala ekosistem utama melalui perubahan iklim mikro dan sumber daya, yang kemudian disebut tantangan fisiologis (Schimel, et al., 2007).


Hubungan antara proses-proses ekosistem terhadap mikroba
(Schimel, et al., 2007)

Mikroba akan menyesuaikan diri untuk menghadapi stres dengan mengubah alokasi sumber daya yang seharusnya digunakan untuk tumbuh untuk mekanisme survival. Stres yang terlalu ekstrem akan memaksa mikroba melakukan dormansi, jika tidak maka mikroba akan mati (Schimel, et al., 2007). Berbagai stres lingkungan yang dapat memengaruhi kehidupan mikroba antara lain stres nutrisi, stres suhu, stres pH, dan stres osmotik. Beberapa stres lingkungan dapat menyebabkan perubahan pada keseluruhan struktur selubung dinding sel, mulai dari komposisi lipolisakarida (LPS), keadaan cairan atau fluiditas membran, struktur protein dan peptidoglikan (Requena, 2012). 



Mikroba dalam kondisi (A) tanpa stres, (B) stres
(Schimel, et al., 2007)


  • Respon Mikroba Terhadap Stres Nutrisi

Apa yang terjadi saat mikroba dalam keadaan sedikit nutrisi atau kelaparan? Beberapa mekanisme respon dilakukan oleh mikroba untuk bertahan hidup dalam jumlah nutrisi yang sedikit, diantaranya yaitu:

  1. Memperlambat laju metabolime sehingga ukuran sel menjadi lebih kecil (semakin kecil luas permukaan, semakin sedikit nutrisi yang akan masuk);
  2. Menginduksi sistem pengambilan substrat dengan Km (konstanta Michaelis-Menten) yang rendah
  3. Mengeluarkan enzim ekstraseluler atau pembuangan molekul-molekul sampah
  4. Memproduksi sel-sel istirahat atau tidak aktif, misalnya endospora pada Bacillus subtilis.



Pembentukan ensdospora Bacillus subtilis (Madigan, et al., 2015):

Tahap I: Dalam kondisi yang tidak menguntungkan, bakteri akan memulai proses sporulasi;
Tahap II: Pembelahan asimetris (tidak sama) terjadi dari pengetatan Z-ring. Z-ring adalah beberapa protein FtsZ yang dirangkai menjadi cincin yang mendepolimerisasi untuk menyebabkan penyempitan ke dalam, yang akan membentuk septum yang menghasilkan dua sel anak;
Tahap III: Sel induk, yang lebih besar dari dua sel anakan, menelan pra-spora (engulfment);
Tahap IV: Pembentukan korteks. Korteks terbuat dari peptidoglikan dan mantel terdiri dari beberapa lapisan protein spesifik;
Tahap V: Pembentukan lapisan (coat) di sekitar spora; 
Tahap VI: Proses pematangan spora; 
Tahap VII: Proses lisisDengan demikian, endospora bebas terbentuk yang dapat bertahan dari lingkungan tidak sesuai. Endospora ini nantinya dapat berubah menjadi sel vegetatif kembali pada kondisi yang menguntungkan, seperti kelimpahan nutrisi dan suhu optimum.



Tahapan sporulasi (Madigan, et al., 2015)


  • Respon Mikroba Terhadap Stres Suhu

Suhu merupakan sebuah faktor penting dalam kehidupan mikroba. Menurut Knob & Carmona (2008), suhu sangat memengaruhi kecepatan pertumbuhan mikrobia, kecepatan sintesis enzim dan kecepatan inaktivasi enzim. Berkaitan dengan suhu pertumbuhan dikenal dengan suhu minimum, maksimum dan optimum. Suhu minimum adalah suhu yang paling rendah di mana kegiatan mikroba masih berlangsung. Suhu optimum adalah suhu yang paling baik untuk kehidupan mikroba. Sedangkan suhu maksimum adalah suhu tertinggi yang masih dapat menumbuhkan mikroba tetapi pada tingkat kegiatan fisiologi yang paling rendah.

Beberapa mikroba dapat tumbuh pada kisaran suhu yang luas. Namun, secara umum mikroba dapat dibedakan menjadi tiga golongan berdasarkan suhu pertumbuhannya, yaitu: 

1. Mikroba psikrofil dapat tumbuh pada suhu antara 00C sampai 300C, dengan suhu optimum 150C. 

2. Mikroba mesofil mempunyai suhu optimum antara 250C – 370C, dengan suhu minimum 150C dan suhu maksimum antara 450C – 550C. 

3. Mikroba termofil adalah golongan dengan suhu pertumbuhan antara 400C – 750C dengan suhu optimum 550 – 600C.

Poli, et al. (2017) menyebutkan bahwa mikroba yang dapat hidup pada suhu tinggi memiliki mekanisme berupa sintesis set protein yang disebut Heat Shock Proteins” (HSPs). Menurut Eyles & Gierasch (2010), Heat Shock Proteins berfungsi sebagai pendamping intraseluler untuk protein lain. Mereka memainkan peran penting dalam interaksi protein-protein seperti melipat dan membantu pembentukan konformasi protein yang tepat (bentuk) dan mencegah agregasi protein yang tidak diinginkan.



Mekanisme Heat Shock Proteins (Eyles & Gierasch, 2010)


Kisaran suhu kritis akan menghasilkan lethal effects. Pendinginan sel secara cepat dari suhu optimal ke 00C dapat juga menyebabkan kematian. Hal ini dikenal sebagai cold shock. Hal ini berkaitan dengan berubahnya lipid dalam membran sehingga merusak permeabilitas sel atau membebaskan penghambat enzim seperti penghambat ribonuklease. Sebagian besar psikrofil yang diteliti menyajikan protein kecil yang terikat pada RNA; mereka dikenal sebagai protein kejut dingin Cold Shock Proteins” (CSPs).



Mekanisme Cold Shock Proteins (iGEM-Amsterdam, 2011)


Ketahanan sel terhadap pembekuan dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik faktor yang berasal dari sel mikroorganisme, cara-cara pembekuan, kecepatan pencairan, ada tidaknya cryoprotectant maupun kombinasi dari faktor-faktor tersebut. Terdapatnya cryoprotectant akan memeperbesar jumlah sel yang hidup. Beberapa cryoprotectant, di antaranya gliserol, DMSO, susu skim, serum, polifinil pirolidon dan beberapa senyawa dengan berat molekul tinggi. Ketahanan terhadap pembekuan bervariasi terhadap macam mikrobia, fase pertumbuhan, dan bentuk sel vegetatif atau spora.


  • Respon Mikroba Terhadap Stres pH

Derajat keasaman (pH) merupakan salah satu faktor lingkungan yang dapat memengaruhi kondisi mikroba. Berdasarkan pH lingkungannya mikroba dibedakan menjadi tiga yaitu mikroba asidofil, neutrofil, dan alkalifil (Waluyo, 2005):

1. Mikroba asidofil, adalah kelompok mikroba yang dapat hidup pada pH asam (2,0-5,0)

2. Mikroba mesofil (neutrofil), adalah kelompok mikroba yang dapat hidup pada pH relatif netral (5,5-8,0)
3. Mikroba alkalifil, adalah kelompok mikroba yang dapat hidup pada pH basa (8,4-9,5)

Kebanyakan mikroba biasa hidup pada lingkungan kondisi pH netral (neutrofil). Meskipun neutrofil tidak dapat hidup pada kondisi asam atau basa ekstrim, namun mikroba ini dapat bertahan pada eksposur ini dengan adanya adaptasi transisi yang berlangsung dimana derajat keasaman berubah secara berangur-angsur. Kimoto, et al. (1999) menyebutkan bahwa paparan kondisi yang sangat asam dapat mengakibatkan kerusakan membran dan hilangnya komponen intraseluler seperti Mg, K dan lemak dari sel, yang mampu menyebabkan kematian bakteri yang tidak tahan asam. 

Menurut Entjang (2003), bakteri memiliki mekanisme yang sangat efektif untuk memelihara kontrol regulasi pH sitoplasmanya (pH).  Cara mikroba merespon kondisi asam yaitu dengan menghasilkan enzim yang dapat mengubah metabolit asam menjadi metabolit netral, atau metabolit netral menjadi metabolit basa. Setiap mikroba menghasilkan enzim yang spesifik. Menurut Moat, et.al. (2002), E. coli menghasilkan enzim dekarboksilase glutamat, dekarboksilase lisin, dan arginin dekarboksilase, yang semuanya menunjukkan peningkatan ekspresi pada pH asam ekstermal. Contoh kasus adalah kemampuan Helicobacter pylori untuk bertahan hidup pH rendah lambung tampaknya menunjukkan bahwa itu adalah asidofil ekstrim. Faktanya, H. pylori adalah neutrofil. Jadi, bagaimana cara bertahan di dalam perut? Hebatnya, H. pylori menciptakan lingkungan mikro di mana pH hampir netral. Ini mencapai ini dengan memproduksi sejumlah besar enzim urease, yang memecah urea untuk membentuk NH4+ dan CO2. Ion amonium meningkatkan pH lingkungan terdekat.

Berbeda dengan Lactocccus, selain menggunakan dekarboksilase glutamat, bakteri ini juga menggunakan jalur arginin deiminase (ADI) untuk menghasilkan ATP selama stres asam. ADI mengubah arginin menjadi citrulline dan amonia, ornithine transcarbamylase mengubah citrulline menjadi ornithine dan karbamil fosfat, dan carbamate kinase memecah karbamil fosfat menjadi amonia dan CO2, menghasilkan ATP dalam prosesnya. Sistem ini juga membutuhkan arginin/ ornithine antiporter untuk membersihkan sel dari produk akhir ornitin saat mengimpor substrat arginin baru.



Jalur arginin deiminase (Das, et al., 2004)


Mekanisme utama yang biasa digunakan oleh bakteri Gram-negatif dalam mengontrol pH internalnya selama pertumbuhan melibatkan modulasi pompa proton primer serta antiporter ion K+/ H+ dan Na+/ H+. Menurut Moat, et.al., (2002), Paparan S. enterica dan E. coli terhadap pH asam non-esensial antara pH 5 dan 6 menghasilkan induksi set gen yang produknya dapat melindungi sel ketika terpapar pada kondisi pH yang berpotensi mematikan dari pH 4 hingga pH 2. Sistem yang dapat diinduksi ini melindungi sel pada nilai pH eksternal di mana mekanisme homeostasis pH non-adaptif gagal.



Mekanisme pompa proton dan antiporter (Sze & Chanroj, 2018)

Perubahan genetik dan fisiologis yang terjadi dalam sel disebut sebagai respons toleransi asam (ATR). Induksi penuh dari ATR menghasilkan peningkatan ekspresi setidaknya 50 protein yang baru disintesis atau yang sudah ada yang disebut protein kejutan asam. Satu sistem yang penting untuk toleransi asam pada beberapa organisme adalah Mg2+-dependent proton yang mentranslokasi ATPase. Dalam organisme Gram-positif seperti Enterococcus faecalis, ATPase, yang biasanya memanfaatkan gaya motif proton untuk menghasilkan ATP, dapat bekerja secara terbalik, menghidrolisis ATP untuk mengeluarkan proton dari sel. Berbeda dengan organisme Gram-negatif yang berjuang untuk menjaga pH internal dekat 7,8, Streptococcus lebih fleksibel.


  • Respon Mikroba Terhadap Stres Osmotik

Konsentrasi zat terlarut (misalnya, garam, ion, metabolit) memainkan peran penting dalam pertumbuhan mikroba. Berdasarkan tekanan osmotik yang diperlukan, mikroba dapat dikelompokkan menjadi:

  1. Mikroba osmofil, adalah mikroba yang dapat tumbuh pada kadar gula tinggi 
  2. Mikroba halofil, adalah mikroba yang dapat tumbuh pada kadar garam halogen tinggi
  3. Mikroba halodurik, adalah kelompok mikroba yang dapat tahan (tidak mati) tetapi tidak dapat tumbuh pada kadar garam tinggi, kadar garamnya dapat mencapai 30 %.

Tekanan osmotik sebenarnya sangat erat hubungannya dengan kandungan air. Apabila mikroba diletakkan pada larutan hipertonis, maka selnya akan mengalami plasmolisis, yaitu terkelupasnya membran sitoplasma dari dinding sel akibat mengkerutnya sitoplasma. Apabila diletakkan pada larutan hipotonis, maka sel mikroba akan mengalami plasmoptisis, yaitu pecahnya sel karena cairan masuk ke dalam sel, sel membengkak dan akhirnya pecah. Menurut Moat, et.al. (2002), selaput mikroba secara bebas tembus air dan, oleh karena itu, air di dalam sel pada dasarnya berada di ekuilibrium (keseimbangan) dengan bagian luar sel. Dinding sel mikroba berfungsi mempertahankan konsentrasi zat terlarut sitoplasma yang relatif terhadap lingkungan luar.



Setiap mikroba mempunyai kebutuhan air yang berbeda. Menurut Schlegel (1994), mikroba menunjukkan perbedaan yang luas dari segi tuntutan keperluan akan kadar air. Mikroba sanggup tumbuh pada aktivitas air  (aw) dari 0,998 sampai 0,6. Bakteri umumnya memerlukan aw 0,90- 0,999. Mikroba yang osmotoleran dapat hidup pada aw terendah (0,6) misalnya khamir Saccharomyces rouxii. Aspergillus glaucus dan jamur benang lain dapat tumbuh pada aw 0,8. Bakteri umumnya memerlukan aw atau kelembaban tinggi lebih dari 0,98, tetapi bakteri halofil hanya memerlukan aw 0,75. Mikroba yang tahan kekeringan adalah yang dapat membentuk spora, konidia atau dapat membentuk kista.

Menurut Moat, et.al, (2002), aw rendah menyebabkan air mengalir ke dalam sel. Hal ini mengakibatkan tekanan yang signifikan pada dinding sel mikroba ketika volume sel mencoba untuk meningkat pada saat yang sama dinding sel mencegah sel dari pembengkakan. Tekanan ini ditempatkan pada dinding sel oleh membran sitoplasma disebut sebagai tekanan turgor. Tekanan turgor dihambat oleh pembungkus sel. Fungsi mekanisme osmoregulator atau respons tegangan osmotik adalah mempertahankan turgor dalam batas, memungkinkan pemeliharaan viabilitas sel.

Tinggi rendahnya osmolalitas akan memengaruhi pertumbuhan mikroba. Saat osmolalitas rendah, aliran air akan masuk ke dalam sel, memungkinkan terjadinya tekanan turgor. Segera setelah penurunan yang signifikan dalam osmolalitas (syok hipo-osmotik), ada aliran cepat air ke dalam sel, meningkatkan turgor. Ini menghasilkan peregangan sel selubung dan dapat menyebabkan "retak" di membran atau dapat meregangkan pori-pori yang ada atau mengaktifkan saluran yang diaktifkan peregangan. Permeabilitas membran akan meningkat tetapi hanya sementara. Turunnya osmolalitas dapat menghasilkan ekstrusi osmolit dan ion serta hilangnya asam amino, nukleotida, dan zat terlarut lainnya dari sitoplasma.

Osmoprotektan merupakan senyawa eksternal yang dapat merangsang laju pertumbuhan bakteri di bawah kondisi hiperosmotik. Senyawa ini bersifat bersifat zwitterionik dan menyerupai glycine betaine dan proline. Menurut Moat, et.al. (2002), Banyak osmoprotektan potensial ditemukan pada tumbuhan dan hewan: betain, betaine aldehyde, proline betaine, kolin, kolin-O-sulfat, stachydrine, dan β-dimethyl-sulfonopropionate hadir pada tumbuhan, dan karnitin banyak terdapat pada hewan. Dalam E. coli, kolin diubah menjadi betaine aldehida oleh Chlor dehidrogenase beta yang tergantung pada O2 yang tergantung pada membran, dan kemudian menjadi glikin betain oleh NADP-dependent dehidrogenase betaine aldehid yang dapat larut. Ecotoine yang diproduksi oleh banyak bakteri halophilic (suka garam) adalah osmoprotektan yang sangat baik untuk E. coli dan bakteri lainnya. Senyawa-senyawa ini diambil ke dalam sel oleh dua pengaturan yang diatur secara osmotik, ProP dan ProU, dalam E. coli dan S. enterica dan homolog ditemukan pada bakteri lain.



Sumber:

Das, Kalyan. Butler, G. H., Kwiatkowsky, V., Clark Jr. A. D., Yadav, P., Arnold, E. 2004. Crystal structures of arginine deiminase with covalent reaction intermediates: Implications for catalytic mechanism. Structure. 12(4): 657-667.

Entjang, Indan. 2003. Mikrobiologi dan Parasitologi. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Eyles, S. J., dan Gierasch, L. M. 2010. Nature’s molecular spongers: Small heat shock proteins grow into their chaperone roles. PNAS. 107 (7): 2727-2728.

iGEM-Amsterdam. 2011. http://2011.igem.org/Team:Amsterdam/Project/Data.

Knob, A. dan Carmona, E. C. 2008. Xylanase production by Penicillium sclerotiorum and its characterization. World Applied Sciences Journal. 4(2): 277-283.

Liu, Z. L. 2012. Microbial Stres Tolerance for Biofuels. New York: Springer Science.

Madigan, Michael T., Martinko, John M., Bender, Kelly S., Buckley, Daniel, H., Stahl, David A. 2015. Brock Biology of Microorganisms. Fourth Edition. New York: Pearson.

Moat, Albert G., Foster, J. W., Spector, M. P. 2002. Chapter 18: Microbial Stress Response. New York: Wiley-Liss Inc.

Poli, Annarita, Ilaria Finore, Ida Romano, Alessia Gioiello, Licia Lama and Barbara Nicolaus. 2017. Microbial diversity in extreme marine habitats and their biomolecules. Microorganisms. 5 (25): 1-30.

Requena, J. M. 2012. Stress Response in Microbiology. Norfolk, UK: Caister Academic Press.

Schlegel, H. 1994.  Mikrobiologi Umum Edisi Keenam. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.

Schimel, J., Balser, T. C., Wallenstein, M. 2007. Microbial stress-response physiology and its implications for ecosystem function. Ecology. 88(6): 1386-1394.

Sze, Heven dan Chanroj, S. 2018. Plant endomembrane dynamics: studies of K+/H+ antiporters provide insights on the effects of pH and ion homeostasis. Plant Physiology. 177 (3) 875-895.

Waluyo, Lud. 2005. Mikrobiologi Umum. Malang: UMM Press.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
TEMPLATE MODIFIED BY LULUKADA